Epistemologi dan Teologi Bencana

22 01 2009

Bencana yang silih-berganti berkunjung ke Indonesia, sebagai tamu tak diundang, menjadi menu rutin “sarapan pagi” tiap hari yang tersaji di hampir seluruh media-massa. Berbagai fenomena, dari mulai banjir, gempa, air laut pasang yang merendam rumah nelayan, angin topan, cuaca buruk dan lain-lainnya berita yang cukup membuat kita was-was untuk melakukan perjalan dari satu daerah ke daerah lainnya.
Prakiraan BMG, yang dulunya tidak menjadi hal penting dan dipertimbangkan, kini sudah menjadi lazim, bahkan kewajiaban, untuk diketahui dan perhatikan oleh masyarakat awam, khususnya yang ingin melakukan perjalanan ke luar kota.
Ramalan-ramalan para dukun dan paranormal pun turut meramaikan kancah prakiraan cuaca, yang seharusnya dalam ranah ilmiah kini memasuki zona “gaib”. Klimaksnya, ramalan seorang dukun dari Amerika Latin yang memprediksikan gempa dan Tsunami di Padang di penghujung akhir tahun 2007, cukup membuat panik warga setempat. Alhasil, berita bencana di Indonesia menempati ratting tinggi dalam setiap pemberitaan, sebagaimana berita-berita tentang politik dan korupsi.
Di sisi lain, masyarakat kita terbagi menjadi dua kelompok besar dalam menyikapi masalah bencana; bencana adalah takdir Tuhan, dan bencana adalah ulah-tangan manusia yang mungkin dapat dihambat ataupun dihindari.
Menanggapi masalah di atas, adalah baik jika kita mengamati masalah bencana dari sudut pandang yang lebih objektif dan ke-agama-an. Dengan artian, kita harus memahami beberapa kata kunci, yang mungkin dapat memudahkan kita untuk memahami bencana dan hubungannya dengan Tuhan dan manusia.
Sering kita, langsung, memberikan predikasi dan justifikasi buruk pada subjek kata “bencana” tanpa mengamatinya dari sudut-pandang yang lebih luas dan objektif.
Kata “bencana” biasanya digunakan untuk segala fenomena yang merusak, dan kata tersebut biasanya disandingkan dengan kata “alam”. Sehingga, memunculkan asumsi bahwa bencana-alam adalah segala fenomena yang merusak tatanan dan kehidupan. Maka, predikasi yang tepat dan layak dengan asumsi tersebut adalah kata “buruk dan keburukan”; bencana-alam adalah buruk.
Kata “buruk” adalah predikasi digunakan sebagai rival dan lawan baik, terkadang biasa digunakan terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan keinginan.
Kata “rusak” adalah predikasi yang biasa digunakan dalam makna “perubahan dari kondisi yang baik ke kondisi buruk”, sedangkan kata kerja “merusak” adalah usaha melakukan perubahan dari kondisi baik ke arah yang buruk.
Padahal, tidak demikian. Bencana-alam tidak dapat disamakan dengan fenomena alam yang merusak. Dengan artian, fenomena alam, contoh kasus, gempa tidaklah selalu berkonotasikan buruk dan merusak.
Gempa, sebagai kediriaannya, merupakan fenomena alam untuk suatu proses perbaikan dan peremajaan dirinya, serta pergerakan ke arah yang lebih baik. Maka, ia tidak dapat dikategorikan sebagai keburukan dan kerusakan.
Selanjutnya, keburukan merupakan konsep yang mewujud di alam pikir manusia oleh hasil sebuah perbandingan dari kebaikan. Tanpa ada aktivitas perbandingan, manusia tidak serta-merta memperolehnya, sebagai contoh: manusia memperoleh konsep kecil, ketika ada suatu perbandingan yang diambil oleh alam-pikir (rasio) dari suatu fenomena eksternal yang lebih besar, sama halnya dengan konsep keburukan.
Dua sudut-pandang, di atas, merupakan suatu reaksi penyikapan yang berlawanan terhadap bencana, diakibatkan dari tidak tersusunnya konsep-konsep dan informasi-informasi yang semestinya diperoleh sebelum mengambil dan membuat keputusan, terlebih lagi ketika proposisi-proposisi tersebut hendak dipredikasikan dengan ketuhanan dan keimanan seseorang.
Konsep dari kata “tuhan”, dapat diartikan menjadi beberapa makna; pencipta dan sesembahan. Sebagai konsep dengan makna “pencipta”, maka Dia harus dipahami sebagai causa-prima (baca: penyebab pertama) dari seluruh dan serentetan akibat-akibat yang merealita di alam eksternal.
Dari sisi lain, “penyebab pertama” harus memiliki eksistensi yang selalu sempurna, ini merupakan konsekwensi dari paham causa-prima itu sendiri. Kesempurnaan merupakan puncak dari kebaikan. Maka, manusia dapat memberikan predikasi “kebaikan sempurna”, “puncak kebaikan” ataupun “kebaikan murni” kepada eksistensi yang disebut dengan “tuhan”, “causa-prima” ataupun “penyebab pertama.
Statement di atas, memberikan konsekwensi logis dan teologi terhadap konsep ketuhanan dan hubungannya dengan manusia dan bencana.
Di dalam bahasa wahyu, Tuhan selalu memberikan predikasi ataupun penamaan terhadap dirinya dengan nama-nama yang baik dan sempurna:ولله الاسماء الحسنی فأدعوا بها) ( yang dalam terjemahannya: “dan Allah memiliki nama-nama indah (baik), maka panggilah Dia dengan nama-nama tersebut”. Di dalam Asma’ul-Husna, Dia menamakan dirinya dengan “Al-Haq” (kebenaran), “An-Nur” (cahaya), dan Dia tidak penah menamakan dirinya dengan kegelapan ataupun kebatilan. Ini merupakan bukti bahwa nama-nama yang Dia kenakan pada diri-Nya merupakan nama-nama kebaikan, dan Dia sendiri adalah kebaikan murni.
Jika Dia adalah cahaya, maka merupakan kemustahilan abadi akan menghasilkan kegelapan, cahaya hanya menghasilkan penerangan dan terang itu sendiri. Kebenaran adalah irasional, jika menelorkan kebatilan. Kebenaran akan menghasilkan petunjuk dan hidayah, dan ini sangat relevan dengan nama Al-Haq (kebenaran).
Sungguh berat untuk menisbahkan semua keburukan –yang di dalamnya juga terdapat makna bencana dengan konotasi keburukan—kepada Tuhan, yang merupakan kebaikan murni. Selain bertentangan dengan wahyu-wahyu-Nya, juga bertentangan dengan rasio manusia. Bahkan terdapat banyak ayat yang menjelaskan bahwa segala kerusakan dan keburukan muncul oleh akibat ulah tangan manusia.
Kepercayaan terhadap “takdir” (al-qadhâ wal qadar) tentunya, jika harus diimani, tidak dengan artian yang selalu mendeskriditkan Tuhan dengan segala predikasi negatif dan buruk.
Asumsi menyatakan, tidak ada dari seluruh kejadian pada manusia, baik dan buruknya, kecuali telah ditetapkan oleh-Nya. Jika, bencana –alam— merupakan keburukan dengan dampak-dampaknya seperti, kematian, kehilangan dan kemiskinan, merupakan tindakan dan keputusan serta kemauan-Nya, maka seharusnya Dia tidak memberikan predikasi atas nama-nama-Nya (baca: asma`ul-husna) dengan nama-nama baik. Karena, keputusan dan tindakan-Nya (takdir) adalah keburukan. Dan manusia pun tidak akan memiliki predikasi tentang nama-nama-Nya dengan kebaikan, bahkan manusia bisa memprikasikan-Nya dengan kontradiksi-kontradiksi dalam asma`-Nya, Maha besar Tuhan dari tindakan irasional.
Konsep bencana (alam) menjadi buruk, ketika ia disandingkan dengan kehancuran, kematian, kehilangan benda dan lain-lainnya. Namun, ia sendiri adalah kebaikan bagi perjalan alam dan jagad raya. Tentunya, proses alamiah tersebut merupakan kebaikan, dan kemunculannya dari Sang Causa-Prima (baca: Tuhan). Sedangkan dampak buruk yang muncul dari merupakan asumsi yang dibangun dari kehancuran dan kehilangan. Kalaulah kita membayangkan, sebagai contoh, terjadi gempa ataupun banjir di Antarika yang tak berpenghuni manusia, maka tidak ada asumsi buruk bagi fenomena tersebut, dikarenakan tidak ada kematian dan kehilangan. Adapun, bencana dapat menjadi keburukan, ketika tangan manusia tidak dapat memenej alam dengan baik, sehingga munculnya ketimpangan dalam tatanan alam.
Wallâhu waliyyut-Taufiq, mohon maaf atas segala kekurangan.





Hello world!

21 01 2009

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!